<meta name='google-adsense-platform-account' content='ca-host-pub-1556223355139109'/> <meta name='google-adsense-platform-domain' content='blogspot.com'/> <!-- --><style type="text/css">@import url(https://www.blogger.com/static/v1/v-css/navbar/3334278262-classic.css); div.b-mobile {display:none;} </style> </head> <body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6350615\x26blogName\x3dCafe+Indika\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://cafeindika.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://cafeindika.blogspot.com/\x26vt\x3d3810862838990974440', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 
 

Cafe Indika

sebuah ruang tempat melepas lelah

http://cafeindika.blogspot.com
My Photo
Name:

Di ruang ini nafas-nafas mulai pelan dan teratur. Keindahan mulai tertuang dalam kata, rindu, dan gambaran tentang masa-masa yang belum pernah terlewati. Atau yang pernah namun terlupa. Di sejenak keheningan, dan bayangan yang berkecamuk dalam kepala (by HK).

skizofrenia
By diah
apakah nama penyakit selalu demikian aneh? kata itu terlalu asing bagiku. tapi untunglah. yang penting Denok tidak gila kan? apa pun nama penyakitnya, biar begitu sulit diucapkan, aku bisa menyangkal Yu Giyem yang selalu menyebut Denok gila.

aku masih ingat wajah Yu Giyem yang mencibir ke arahku saat kami bertemu di warung.
"tadi malam ngamuk lagi, Nah? sudahlah, dipasung saja. daripada barangmu habis dirusaknya. makanya Nah, ambil anak sama dengan ambil mantu. lihat bibit, bebet dan bobotnya. asal ambil, ndak taunya gila."

malu sekali aku saat itu. siapa yang tau apa yang akan terjadi?

mungkin salahku yang tidak bisa punya anak. dengan ditinggalnya Denok di depan rumah Bu bidan, aku merasa dia dan aku saling membutuhkan. aku ingin anak, dia butuh orang tua. walau awalnya Kang Parmin keberatan, aku tetap berkeras mengangkat Denok menjadi anak.

denok adalah penghidup rumahku yang sepi. bahkan Kang Parmin yang tadinya selalu murung jadi tampak lebih ceria atas hadirnya Denok. dia pun bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami yang meningkat. hingga naas menimpa, dia terjatuh dari pohon kelapa yang getahnya hendak dia sadap. aku nyaris menangis mengingat Kang Parmin.

"Bu Minah... Bu Minah... Anda tidak apa-apa?" sebuah wajah mungil yang cantik menyadarkan aku dari lamunan.

"ah, ndak papa kok, Bu dokter."

"jadi ibu mengerti yang saya katakan tadi?" tanyanya dengan lembut.

aku manggut-manggut, meski tak satu penjelasannya pun yang mampir ke otakku.

"jadi begitulah penyakit Denok, dan demikian pengobatan yang kami rencanakan. Ibu setuju? kalau setuju, silahkan tanda tangan di sini." dia menyodorkan selembar kertas.

"manut Bu dokter saja. yang penting Denok sembuh."

"jadi begini Bu Minah..."

sepertinya Bu dokter Ira yang cantik itu tau kalau aku tidak mengerti apa yang sedari tadi ia coba jelaskan. jadi dia kembali bicara panjang lebar.

aku jadi gelisah. aku merasa mendapat firasat buruk. aku tidak ingin kehilangan Denok seperti aku kehilangan Kang Parmin. biarpun dia suka mengamuk, aku tidak pernah marah.

aku menyesal membawa dia ke sini. karena kemarin dia mengamuk di rumah Bu guru Arum, Pak RT mendesak agar Denok dibawa ke sini. aku tidak peduli, biarpun kata Pak RT pengobatannya gratis. aku ingin bersama Denok saja. nanti akan kularang dia keluar rumah jika aku sedang berjualan di pasar.

"... dengan pengobatan akan membaik. tapi kita tidak bisa mengatakan sembuh. karena penyakit ini..." sepenggal kalimat Bu dokter yang membuatku sesak. lalu apa gunanya aku membawanya ke sini?

"ada pertanyaan, Bu Minah? sudah jelas?"

aku jadi sumringah. dengan penuh harap aku bertanya, "jadi Denok ndak gila kan, Bu?"

ku lihat wajah cantik itu tertegun. memandangiku dengan matanya yang bening hingga aku menjadi malu. apakah aku salah bertanya?

"masyarakat pada umumnya memang menyebut demikian," kata dokter itu akhirnya.

tiba-tiba kepalaku menjadi pusing. aku melihat Yu Ginem yang mencibir, Bu guru yang memandang penuh rasa kasihan, Pak RT yang tampak kesal, dan Kang Parmin... aku melihat Kang Parmin yang sedang tersenyum manis.
"Kang, aku melu..."
karena aku cinta maka aku (harus) jadi kurus
By diah
suatu kali, temanku menolak kuajak makan. "aku lagi diet," katanya. kali lain dia menolak makanan yang kutawarkan. "kamu ga tau ya, aku kan lagi diet," komentarnya. dan terakhir tadi pagi ketika kuajak sarapan, "kamu lupa? aku kan diet." lalu kupandang badannya, memang sedikit lebih kurus. aku tidak akan heran kalau dia adalah seorang perempuan yang tergila-gila pada berat badan di bawah 45. tapi ini adalah seorang lelaki!

keinginannya untuk diet muncul setelah dia jatuh hati pada seorang perempuan. walau sekarang mereka sudah pacaran, proses penurunan berat badan itu terus berlangsung. apakah cinta itu berbanding terbalik dengan berat badan???
© August 2005 • Postings by Diah • Design by HK

Powered by Blogger     Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com